About Me

Bunda Zidan & Syifa
Mom with two kids. 32. Tukangjalan. Tukangbelanja. Tukangkue. Tukangroti. Tukangmakan. ;)
YM: inong99
email: inong99@yahoo.com

View my complete profile

Loket Kadeudeuh WSAB
Subscribe with Bloglines

Blog DapurBunda
Blog PuisiBunda

Previous Posts

Archives
Little Break



My Idol 2006


  • Little Chat
    Name :
    Web URL :
    Message :
    :) :( :D :p :(( :)) :x
    Credits
    Design by :


    Community

    Photobucket - Video and Image Hosting

    WSAB

    BlogFam Community

    Indonesian Muslim Blogger

    Blogfam Online Magazine

    Image hosted by Photobucket.com

    Solidaritas untuk anak Indonesia

    IndoSing-Mums


    Powered by Blogger



     Sunday, October 10, 2004 
    MUSIM DUREN
    Tidak terasa musim duren sudah tiba. Sepanjang jalan di daerah Klender sudah mulai dipenuhi oleh para penjual duren yang setiap tahunnya selalu berjualan di sana. Memang buah yang satu ini selalu membuat iman saya dan keluarga goyah. Tidak salah kalau kami sekeluarga dijuluki (atau tepatnya menjuluki diri sendiri?) sebagai para setan duren karena sarapan pagi pun bisa diisi dengan menyantap duren yang disimpan di dalam kulkas, aarrghh.. nikmatnya. Kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang, kebetulan sekali suami saya termasuk penggila buah duren juga. Sampai-sampai ada pameo di keluarga kami : “Orang yang tidak suka duren adalah kaum yang merugi.” Hahaha!

    Berburu duren membawa cerita unik yang berbeda-beda dari setiap wilayahnya. Misalnya di dearah tempat kami tinggal, Klender, harga duren ditentukan dengan kendaraan yang kita bawa waktu membeli, jadi pembeli yang mengendarai sepeda motor bisa mendapatkan harga yang jauh lebih murah daripada pembeli yang membawa mobil. “Ugh, sebel banget. Masak kita harus bela-belain jalan kaki demi harga murah,” gerutu adik saya suatu hari. Belum lagi resiko tertipu. Karena konon pisau si tukang duren sudah direndam air gula tujuh hari tujuh malam sebelum digunakan, jadi duren yang dicicipi di tempat akan terasa jauh lebih manis dibandingkan setelah tiba di rumah. Ini mitos, benar atau tidaknya silakan tanyakan langsung ke tukang durennya, ya!

    Lain lagi cerita sewaktu kami berburu duren ke Tambun, Bekasi. Tips dari seorang kawan, berburu di sana harus malam hari, karena pada waktu tersebut truk-truk pengangkut duren baru tiba, dan harganya bisa jauh lebih murah daripada duren Jakarta. Dan ini memang benar, sebuah duren yang berukuran lumayan besar hanya dihargai sepertiga dari duren yang biasa kami beli di Jakarta, bisa dibayangkan pesta duren yang berlangsung di rumah kami malam itu. Lucunya, saat seminggu kemudian kami kembali ke lapangan tempat menjual duren tersebut, tempat itu kosong nyaris tak berbekas!. Selidik punya selidik rupanya semalam sebelumnya telah terjadi tawuran antar tukang duren di sana. Ya ampuun..! Terbayang deh apa yang menjadi senjata utamanya!

    Tapi saya juga pernah kena tulahnya lho, ketika mengandung anak kami yang kedua, entah mengapa saya tiba-tiba begitu membenci duren, jangankan memakannya, mencium baunya saja sudah membuat saya mntah-muntah. Oh, rasanya tersiksa sekali. Padahal di saat yang sama pohon-pohon duren di kebun orangtua saya sedang pertama kali berbuah, dan jumlahnya yang puluhan buah itu menumpuk di teras rumah. Setiap ada yang membukanya, wanginya langsung menyebar ke mana-mana. Sementara yang lain sibuk menyantap dan saling berkomentar. Saya malah sibuk menghindar dan menutup hidung, karena bau duren saat itu menjadi bau yang paling menjijikkan buat saya. Oh, Tuhan, saya benar-benar tersiksa. Bisa saya rasakan, bagaimana menderitanya teman kuliah saya, Mira, setiap kami, teman-temannya, sedang menyantap duren. Maafin saya ya, Mir, pikir saya dalam hati.

    Ada satu cerita unik, sewaktu saya dan suami tinggal di Singapura. Tepat saat musim duren tiba, Singapura dibanjiri oleh duren Malaysia dan duren Bangkok, rasanya seperti di surga. Dengan uang S$3.00 kami sudah bisa menikmati manisnya duren Bangkok yang kami beli di mini market di lantai dasar apartemen kami. “Coba datang ke Bugis Street, kalian bisa dapatkan durian dengan harga S$1.00 saja,” begitu kata seorang teman kami dari Malaysia. O..o.. it’s a good idea! Jadi, pada akhir pekan kami langsung pergi ke Bugis Street, dan benar, sebagian pasar di sana hampir dipenuhi duren-duren itu. Papan-papan kardus bertuliskan berbagai harga dengan berbagai ukuran. Dari S$1.00 sampai S$10.00. Dari yang kecil sampai yang besar. Tanpa ragu kami berdua langsung menuju tumpukan duren yang berharga S$1.00, dengan pedenya kami pilih-pilih yang bagus, akhirnya kami dapat lima buah yang berukuran cukup besar. Karena peraturan di sana tidak memperkenankan kami membawa duren-duren itu pulang ke apartemen dengan kendaraan umum, maka kami berniat untuk langsung memakannya di tempat. Satu hal yang tidak diduga-duga sebelumnya, setelah membayar kami menunggu si penjual duren membukakan duren-duren itu. Ternyata dengan santai ia berkomentar, “Oooh.. no..no… one dollar no open.. Satu dollar tiada buka.. tiada buka.” Hah? Kami melongo sesaat. Lalu bagaimana kami buka duren-duren ini? Suami saya mencoba meminjam pisau.

    “Biar deh kita buka sendiri aja ya,” katanya ke saya. Eeh.. si tukang duren menimpali, “No..no..no… one dollar no open, satu dollar tiada pisau.” Yaah.. ini sih namanya deskriminasi harga, mentang-mentang kita beli yang murah jadi tidak dapat service yang bagus juga? “Sudah jangan kecewa, lain kali kita bawa pisau sendiri, ya!” bisik suami saya menghibur. Hahaha!


    INONG HARIS

    Dimuat di Gado-gado, majalah Femina no.47 - 2004
    posted by  on 8:24 PM 
    0 Comments:

    Post a Comment

    << Home




    Daisypath Ticker